Sepenggal Doa

Aku baru saja memulai pagi ini dengan mendengarkan musikalisasi sajak Chairil Anwar berjudul DOA. Sebuah sajak yang mengajak khusyuk mengingat hakikat kita dan pencipta. Sajak yang tidak banyak menggunakan majas, bahkan kata-kata sederhana tetap saja mampu mengekspresikan renungan khidmat.

Dengan ditemani teh manis hangat, aku memutar ulang musikal lambat bait-bait sajaknya. Tenang, dan tidak memiliki tekanan nada tinggi pada kata apapun. Hanya kata-kata yang terangkai dengan arti sederhana dan mudah dibayangkan dalam ingatan.

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

Kesamaan bunyi di ujung tiap baris sajaknya, mempertegas kekuatan kata-kata menjadi seluruh kisah bertutur yang penuh kesungguhan. Permulaan renung yang tidak dimulai dengan kesulitan mencerna kata-kata. Melainkan hanya perlu duduk mengingat tunggal sosok Esa.

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Di bagian ini, aku menemukan bahwa banyak orang mengartikan baitnya sebagai kisah perjalanan dan pengembaraan anak manusia. Yang berbalut keringat dan peluh, dosa dan aib, akibat pertanyaan dan pencarian yang tidak kunjung terpuaskan. Sampai akhirnya sang pengembara merasa ibarat kaus oblong berlubang-lubang digerogoti tikus rakus.

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Seperti bisa kukutip dari buku populer sang Windy Ariestanty tentang hakikat perjalanan adalah pulang. Pulang, setelah perjalanan panjang, ujung kekal dari petualang. Pulang kepada tuhannya dalam bait-bait ini seperti semakin kentara sebagai bentuk pasti. Bahkan anak juang sekuat apapun, tidak bisa memalingkan wajahnya dari pulang kepada asalnya ada.

Tagged , , , , ,

Leave a comment